Sabtu, 20 Maret 2010

sejarah graffity


Grafiti
Grafiti (grafitty atau grafitti) adalah kegiatan seni rupa yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk dan volume untuk menuliskan kalimat tertentu di atas dinding. Alat yang digunakan biasanya cat semprot kaleng atau pilok.

Sejarah
Grafiti di Pompeii. Grafiti ini mengandung tulisan rakyat yang menggunakan bahasa Latin Rakyat dan bukan bahasa Latin Klasik.Kebiasaan melukis di dinding bermula dari manusia primitif sebagai cara mengkomunikasikan perburuan. Pada masa ini, grafitty digunakan sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat berburu.
Perkembangan kesenian di zaman Mesir kuno juga memperlihatkan aktivitas melukis di dinding-dinding piramida. Lukisan ini mengkomunikasikan alam lain yang ditemui seorang pharaoh (Firaun) setelah dimumikan.

Kegiatan grafiti sebagai sarana menunjukkan ketidak puasan baru dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-dinding bangunan. Lukisan ini ditemukan di reruntuhan kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri dipakai sebagai alat propaganda untuk mendiskreditkan pemeluk kristen yang pada zaman itu dilarang kaisar.

Grafiti pada zaman modern
Grafiti pada Tembok Pemisah Israel di Israel-Palestina.
Adanya kelas-kelas sosial yang terpisah terlalu jauh menimbulkan kesulitan bagi masyarakat golongan tertentu untuk mengekspresikan kegiatan seninya. Akibatnya beberapa individu menggunakan sarana yang hampir tersedia di seluruh kota, yaitu dinding.
Pendidikan kesenian yang kurang menyebabkan objek yang sering muncul di grafiti berupa tulisan-tulisan atau sandi yang hanya dipahami golongan tertentu. Biasanya karya ini menunjukkan ketidak puasan terhadap keadaan sosial yang mereka alami.
Meskipun grafiti pada umumnya bersifat merusak dan menyebabkan tingginya biaya pemeliharaan kebersihan kota, namun grafiti tetap merupakan ekspresi seni yang harus dihargai. Ada banyak sekali seniman terkenal yang mengawali karirnya dari kegiatan grafiti.

Fungsi grafiti
• Sarana ekspresi ketidak puasan terhadap keadaan sosial.
• Sarana ekspresi ketakutan terhadap kondisi politik dan sosial.
• Sarana pemberontakan.
• Bahasa rahasia kelompok tertentu.

Pada perkembangannya, grafiti di sekitar tahun 70-an di Amerika dan Eropa akhirnya merambah ke wilayah urban sebagai jati diri kelompok yang menjamur di perkotaan. Karena citranya yang kurang bagus, grafiti telanjur menjadi momok bagi keamanan kota. Alasannya adalah karena dianggap memprovokasi perang antar kelompok atau gang. Selain dilakukan di tembok kosong, grafiti pun sering dibuat di dinding kereta api bawah tanah.

Di Amerika Serikat sendiri, setiap negara bagian sudah memiliki peraturan sendiri untuk meredam grafiti. San Diego, California, New York telah memiliki undang-undang yang menetapkan bahwa grafiti adalah kegiatan ilegal. Untuk mengidentifikasi pola pembuatannya, grafiti pun dibagi menjadi dua jenis.

Gang grafiti
Yaitu grafiti yang berfungsi sebagai identifikasi daerah kekuasaan lewat tulisan nama gang, gang gabungan, para anggota gang, atau tulisan tentang apa yang terjadi di dalam gang itu.

Tagging graffiti
Yaitu jenis graffiti yang sering dipakai untuk ketenaran seseorang atau kelompok. Semakin banyak graffiti jenis ini bertebaran, maka makin terkenallah nama pembuatnya. Karena itu grafiti jenis ini memerlukan tagging atau tanda tangan dari pembuat atau bomber-nya. Semacam tanggung jawab karya.
di indonesia ;indo sendiri sekarang graffiti sudah sangat gampang dijumpai di beberapa kota di indonesia!kemunculan graffiti di indonesia pertama kali di daerah jogjakarta dan kini sudah hampir menyebar ke seluruh pelosok negeri ini dan biasa di indonesia artisnya kebanyakan pelajar yang mengekpresikan ke tembok-tembok orang lain

Sabtu, 06 Maret 2010

Selasa, 02 Maret 2010

DOWN FOR LIFE


Rentetan serangan pasukan babi neraka adalah amunisi dari permainan gitar dua bersaudara, Imam Santoso dan Sigit Pratama, yang bersahutan saling mengisi, ditimpali bass line dengan sound berat dari Ahmad 'Jojo' Ashari, vokal provokatif dari Stephanus Adjie, serta skill drumming penuh power dari Wahyu 'Uziel' Jayadi. DFL bikin hardcore menjadi begitu agresif, brutal dan metalik. 'Bengawan Solo' riwayatnya kini sudah tidak se-syahdu biasanya.

Membicarakan musik cadas di kota Solo, ada satu band yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, yaitu Down For Life [DFL]. Pengendali metal kota Bengawan ini sudah malang melintang di jagad musik cadas hampir delapan tahun. Selama itu pula mereka memporakpandakan batasan esensi bunyi dan suara. Aksi panggung di ratusan panggung besar dan kecil di dalam dan luar kota membuat nama mereka begitu santer disebut sebagai band paling berbahaya dari kota Solo. Band ini dibentuk di kota Solo oleh beberapa individu yang sebelumnya terlibat dalam kolektif band-nya masing-masing dan lalu beraliansi dalam kelompok bernama DFL. Setelah tertunda hampir empat tahun, akhirnya debut album resmi mereka yang bertajuk Simponi Kebisingan Babi Neraka dirilis di bawah minor label Belukar Records.

Sebelumnya, sejumlah rilisan tidak resmi atau bootleg berupa promo sudah tersebar secara gratis dan dapat diunduh di mana-mana. Sebenarnya ada beberapa label major dan minor menawarkan berbagai kerjasama tapi tidak menghasilkan kesepakatan dan bentuk yang signifikan. Di sela jadwal manggung yang begitu padat, mereka masih dapat meluangkan waktu untuk proses recording, mixing dan mastering di Biru Recording Studio [Solo] selama bulan Oktober hingga Desember 2007. Bersama sound engineer handal Setyo, yang juga soundman DFL saat live, akhirnya dihasilkan sepuluh komposisi cadas yang sangat anthemik. Singel Tertikam Dari Belakang jadi high rotate request di berbagai radio lokal, menyusul singel sebelumnya Change. Beberapa singel yang lain juga tercatat sempat ikut dalam berbagai proyek kompilasi. DFL yakin jika Simponi Kebisingan Babi Neraka adalah jawaban bagaimana musik cadas seharusnya dimainkan. Sambut himne kejayaan pasukan babi neraka dari kota bengawan!...

DFL menghadirkan gitaris band rock veteran DD Crow [Roxx] di lagu Menuju Matahari. Singel Pasoepati merupakan anthem kelompok suporter sepakbola dan disumbangkan dalam kompilasi untuk Persis Solo. Sampul album mereka dikerjakan oleh artworker handal, Jahloo Gomez dari Belukar

Seks Bebas Kalangan Pelajar


SEKS bebas di kalangan mahasiswa sebenarnya bukan barang baru, bahkan termasuk sangat klise. Dari dulu mahasiswa sebenarnya memang sangat dekat dengan hal ini, walaupun tidak seheboh belakangan ini.

Fenomena seks bebas --baik yang sudah kepergok atau belum-- di kalangan mahasiswa dapat dipastikan terjadi di mana saja. Di daerah manapun yang notabene hidup berdampingan dengan komunitas mahasiswa, dapat dipastikan akan mendengar bau pembicaraan fenomena klasik ini. Bahkan fenomena seks bebas di kalangan mahasiswa tidak hanya terjadi dengan mahasiswa secara umum, tapi juga terjadi di kalangan aktivis mahasiswa. Pembicaraan ini bukan rahasia umum lagi. Bukan lantaran karena ada buku yang menjelaskan tentang ini (lihat, Sex In The Kost, Iip Wijayanto, 2003), akan tetapi dunia aktivis memang relatif dekat dengan ini. Aktivis akan relatif mudah bersentuhan dengan “barang” satu ini, karena secara umum aktivis mempunyai kemampuan retorika untuk dapat dengan mudah menggaet seorang mahasiswi, apalagi mahasiswi baru. Walaupun tentunya tidak semua aktivis melakukan hal ini.

Sangat tidak bijaksana membebankan kesalahan ini kepada agama yang dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah ini. Agama tidak bisa disalahkan. Karena pada dasarnya agama mengajarkan umat manusia untuk berbuat kebajikan dan mencegah perbuatan yang keji dan mungkar. Kurangnya pondasi keagamaan dan rendahnya kualitas iman seseorang menyebabkan hal ini terjadi. Benar!

Selain agama, yang juga sering menjadi korban adalah orang tua. Sebagian menganggap peran orang tua sangat penting dalam pembinaan mentalitas anak-anaknya. Tapi, bukan berarti kesalahan ini bisa dilimpahkan kepada orang tua. Saya yakin, tidak ada orang tua yang pernah berharap buruk pada anaknya, apalagi melegitimasi seks bebas atau narkoba. Orang tua memang mempunyai peran dalam mendidik anak-anaknya, tapi orang tua tentunya akan kesulitan kalau harus terus-menerus memantau anak karena tidak semua orang tua kumpul dengan anaknya.

Di samping itu, akses orang tua terhadap anak --terutama mahasiswa-- begitu sulit. Mengingat mahasiswa sudah dianggap orang yang sudah dewasa, dan ada kecenderungan mahasiswa menyembunyikan hal ini dari orang tuanya. Jadi, sekali lagi hal ini tidak bisa sepenuhnya menjadi kesalahan orang tua. Tetapi memang, peran orang tua untuk itu harus ada, setidaknya memberi nasihat serta yang penting melakukan kontrol terhadap anaknya.

Seumuran mahasiswa, secara psikologis sudah tergolong orang dewasa. Karena dianggap telah mempunyai kemampuan berpikir yang matang. Mahasiswa sudah dianggap mempunyai paradigma berpikir yang kompleks. Sudah dianggap bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Sehingga tidak ada alasan menyalahkan orang lain selain dirinya sendiri. Walaupun demikian, masih saja banyak mahasiswa yang tidak mampu lepas dari gejolak hasrat dan birahinya.

psikologi.net

A7X






logo band puk

Dar

Jalanan….Kehidupan atau Pelarian?!

JPEG Image (69104) by arista_budiyono.

Jalanan….Kehidupan atau Pelarian?!

Posted by: no1lzz in marjinal, punk, tags: , , ,

Sejak Marjinal bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, dari hari ke hari kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat dalam program workshop. Selain membuka workshop cukil kayu dan musik, Marjinal mengusahakan distro sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan di beranda, menyimpan pelbagai produk Taringbabi; dari kaos, kaset, pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang tamu yang selalu riuh itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak yang berbarik sebagai ikon Taringbabi.

Para punker biasanya datang secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan, melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi bersama. Mike memberitahu accord atau nada sebuah lagu, dan menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses belajar dan mengajar, secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.

Sebagian besar anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu ekonomi orangtua. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng, Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar, Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako untuk ibu mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.

Jika sekilas memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang berambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk dengan pelbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.

Bagi anak-anak jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang menyegarkan kehidupan dan hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan Indonesia yang masih memarjinalkan anak-anak miskin kota, seperti yang didedahkan lirik lagu Banyak Dari Teman-temanku berikut ini:

Banyak dari teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan melihatnya, disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / / Diantara bising kereta / Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik matahari, disana tak sederhana / Tersangkut tajamnya pagar berduri / / Pelajar yang putus sekolah / Perempuan dan pekerja kasar / Dibawah beban yang dipikulnya, mereka tak sederhana / Terjebak pilihan yang berbahaya / / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi / Tapi semuanya sirna oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala / Disunat dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa / Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik tirai yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan tersungkur di kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian

***

Persoalan anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak jalanan.

Pada saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.

Kehidupan anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya.

Sekurang-kurangnya, ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya– berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.

Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.

Negara memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi.

Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.

Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.

Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.

Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.

Jalan raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.

Sebuah kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.

Soleh Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.

Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John, Jimi, Tomi dan semacamnya.

Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.

***

Apakah mereka memahami apa itu punk?

Mike: Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di jalan… Mereka punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam. Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran orang yang sudah dimapankan — yang menganggap negatif karena melihat penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang lebih penting adalah nilai-nilai punk dalam prakteknya berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia mereka, ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran — ketika anak-anak yang lain kan sekolah, pulang ke rumah, bermain, latihan ini dan itu, les piano … Mereka hidup di jalanan mencari uang untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan digaruk trantib. Digertak atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam posisi bertahan hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa humor. Buat gue itu penting, manusiawi banget!

Tapi, di sisi lain Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong . Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.

Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka, dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu, seperti yang terjadi berikut ini:

Pada suatu siang yang gerah, empat anak-muda (belasan tahun) berjalan oleng di depan squat Marjinal. Mereka sudah beberapa kali mondar-mandir, dan seorang diantaranya berwajah pucat, matanya terpejam, dalam keadaan mabuk berat, sehingga menjadi tontonan warga. Ketika ditanya tujuannya hendak ke mana, mereka cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil meringis.

Anak-anak kampung Setiabudi (berusia belasan tahun) pun mengarak mereka ke pinggir kali. Segala atribut punk yang melekat di tubuh mereka dilemparkan ke kali, sambil diteriaki,”Pecundang! Pecundang! Pecundang!” Setelah itu, mengusir mereka.

Kejadian serupa, akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Bahkan ada aksi kriminal, seperti kasus perkosaan yang terjadi di terowongan Casablanca yang dilakukan segerombolan orang yang beratribut punk, yang diceritakan Kodok (personil Bombardir). “Begitu mendengar kejadian itu, gue bareng warga menyisir beberapa tempat yang biasanya jadi tempat nongkrong mereka,” ujar Kodok dengan nada tinggi.

Squat Marjinal juga sering kedatangan para orangtua yang mencari keberadaan putrinya — (seperti Nia dari Citayam). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan para ibu tentang putra-putri mereka yang berperilaku “aneh” di mata mereka. “Rambut diwarnai merah, sering diluar rumah, dan malas sekolah, maunya pergi jauh ke Jawa padahal gak megang duit” kata seorang ibu dari Pondok Kopi.

Sampai saat tulisan ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua menanyakan segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal. Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.

Berbeda dengan gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk jalanan yang beken juga di sono disebut street punk adalah sebuah gerakan budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya dominan yang dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di Inggris pada tahun 1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth Thatcher, dari Partai Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat liberal, memberi peluang kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi uang) tetapi di sisi lain mengabaikan kelas pekerja, sehingga pengangguran pun merajalela. Ketika pabrik-pabrik menutup lowongan pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya dengan alasan efesiensi, masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai tempat mencari nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi karnaval dan musik.

Sebagai sub-kultur Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain, dari novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih cerobong asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap untuk menggenjot produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu merasa tersiksa bekerja sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di tempat-tempat yang kumuh tidak berpenerangan. Mereka akhirnya memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi! Mereka lari dari panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka menggunakan jalanan di London sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan. Dan terbebas dari eksploitasi.

Bagi seorang punk, jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang, di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian. Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape) dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less, menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!

Melihat fenomena gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka bukan punk! Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah hippies! Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom). ***

*) Tulisan ini nukilan dari manuskrip buku “ Marjinal: Punk – Blaut!”oleh Haska

logo persis

JPEG Image (69104) by arista_budiyono.

pasoepati jabodetabek lomba logo



bulan ini pasoepati jabodetabek akan mengadakan lomba logo..... ada yang tertarik mau ikutan......

sekedar merefleksi sejarah masa lalu kita. sejarah dimana pasoepati selalu disebut dimana mana, sejarah yang saat ini sirna, sejarah yang selalu jadi nosatalgia kalau kita suporter kreatif. terus saja di dengung dengung kan kalau kita suporter kreatif. ya kita dulu memang selalu atraktif tapi itu dulu berbeda jauh dengan sekarang. tulisan ini saya copi dari situs pak bambang haryanto sebagai perenungan sebagaii pembelajaran buat kita pasoepati era ke 3 (setelah pelita, persijatim kemudian persis ) pasoepati jangan dulu kebakaran jenggot dengan isi tulisannya karena itu adalah sebuah cerminan diri kita (buruk muka cermin dibelah) jadikan ini semua semanagat, pelecut, tonggak sebuah pemikiran pemikiran revolusioner baru.

Sandyakalaning Pasoepati

Oleh : Bambang Haryanto
Nelson Mandela punya ujaran, sepakbola merupakan aktivitas yang paling mampu mempersatukan umat manusia. Ujaran Mandela terbukti di Solo tahun 2000, saat tim elit Liga Indonesia asal Jakarta, Pelita Bakrie, memutuskan ber-home ground di Solo. Namanya pun berubah jadi Pelita Solo.

Tanggal 9 Februari 2000 lahirlah kelompok suporternya, bernama Pasukan Soeporter Pelita Sejati (Pasoepati). Sinergi Pelita Solo dan Pasoepati saat itu menjadi gairah baru yang mempersatukan publik bola Solo dan sekitarnya.

Pasoepati adalah hasil akal budi seorang praktisi periklanan Solo, Mayor Haristanto. Ia mengambil prakarsa ketika tak ada wong Solo berani jemput bola guna membangun organisasi suporter ketika publik bola Solo terserang eforia karena tiba-tiba hadir tim elit Liga Indonesia di kotanya. Dengan menunggangi gairah warga Solo yang meluap, dipadu sinergi cerdas dengan media massa lokal dan nasional, Pasoepati meroket menjadi meteor di kancah persepakbolaan nasional.

Dengan mengusung tagline revolusi citra baru suporter sepakbola Indonesia, dicoba dibangun kelompok suporter yang juga penghibur di stadion-stadion. Bersemboyan menjunjung tinggi sportivitas dan anti kekerasan, virus Pasoepati menyebar ke seluruh Indonesia. Mayor sendiri, sebagai Presiden Pasoepati, kemudian ikut membidani lahirnya kelompok suporter cinta damai, The Macz Man yang pendukung PSM di Makassar, Asykar Teking yang suporter PSPS di Pekanbaru dan juga kelompok suporter Manado.

Saat itu, saya sebagai Menteri Media dan Komunikasi Pasoepati, mengibaratkan fenomena Pasoepati seperti kisah dongeng sup batu. Kata sahibul hikayat, terdapat dua orang menaruh kuali besar di atas tungku yang menyala, di tengah alun-alun kota. Dalam kuali dimasukkan air dan sebutir batu. Sejurus kemudian dua orang itu segera mengaduk-aduk “masakan”-nya secara sungguh-sungguh dan bersuka ria.

Lalu datanglah orang ketiga. Ia penasaran, ingin tahu apa yang dikerjakan oleh dua orang yang tampak riang tadi. Ia diberitahu bahwa mereka berdua sedang memasak sup yang lezat, tetapi saat itu masih kekurangan wortel. Orang ketiga itu pun pulang. Ia datang kembali membawa wortel yang segera dituangkan ke dalam kuali. Ia pun segera ikut mengaduk-aduknya.

Orang berikutnya datang menyumbang kubis, loncang, seledri, garam, minyak, penyedap rasa, kaldu, daging, dan keperluan sup lainnya. Adonan tersebut makin lama memang terasa menguarkan aroma yang menggugah selera.

Warga Solo, seperti dongeng di atas, saat itu bersemangat memberi (to give) untuk Pasoepati. Meminjam teori Maslow (1954) mengenai hirarki kebutuhan hidup manusia, yang saya rasakan di Pasoepati pada saat itu adalah menggebunya keinginan warga Solo berhimpun guna terpenuhinya kebutuhan tingkat ketiga, yaitu ingin memiliki-dimiliki dan cinta.

Mereka bersemangat untuk berinteraksi dalam Pasoepati guna terbukanya peluang membina persahabatan, memperoleh pengakuan, memiliki identifikasi kelompok dan rasa memiliki sesuatu tujuan bersama. Bahkan pada beberapa individu sudah merambah ke pemenuhan kebutuhan tingkat empat, yaitu kebutuhan terhadap penghargaan, rasa bangga karena memiliki keahlian, prestasi dan prestise dan pemenuhan tingkat kelima dari piramida Maslow, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Kalau tesis Maslow dipadu dengan teori Miller dan Sjoberg (1973) mengenai gaya hidup manusia yang meliputi pekerjaan, hiburan dan hubungan antar manusia, maka Pasoepati adalah perwujudan jenis hiburan tingkat dua. Kalau tingkat pertama seperti menonton televisi, yang pasif, maka hiburan tingkat kedua ini merupakan rekreasi, revitalisasi atau peremajaan diri. Hiburan jenis ini menuntut orang aktif berperanserta untuk mengobarkan semangat, membangkitkan enerji baru, melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan waktu senggang.

Tur-tur keluar kota dan aktivitas Pasoepati yang diperkaya lagu tema dan tagline , misalnya From Solo With Love ketika tur 6/4/2000 menaklukkan Surabaya sampai Pasoepati Embrace The World : I’d Like To Teach The World To Sing pada acara Hut II Pasoepati 9/2/2002 dan peluncuran CD Pasoepati untuk dikirim ke FIFA, Malaysia dan Singapura, sekadar ilustrasi bagaimana Pasoepati mengemas diri sebagai suporter dan entertainer. Buahnya adalah liputan media yang masif, mampu memuaskan ego warganya, bahwa eksistensi dan aksi mereka mendapat pengakuan.

Bulan madu warga Solo dengan Pelita Solo dan Pasoepati, redup tahun 2001. Karena penyandang dananya, konglomerat Bakrie, mengalami kesulitan keuangan, Pelita Solo memutuskan bergabung klub Krakatau Steel di Cilegon, tahun 2001. Kekosongan di kota gila sepakbola ini diisi dengan kehadiran tim Persijatim, asal Jakarta Timur.

Pada tahun yang sama Mayor mengundurkan diri dari Presiden Pasoepati. Untuk memuluskan perpindahannya ke Solo, fihak Persijatim memberikan konsesi kepada pengurus Pasoepati yang baru, yang dijabat oleh Satryo Hadinagoro-Bimo Putranto, menjadi panitia pelaksana pertandingan (panpel) Persijatim di Stadion Manahan.

Mulailah kepribadian Pasoepati mendapat ujian berat. Pada awal berdiri, saya ikut memimpikan bahwa bahwa Pasoepati adalah lembaga hiburan dan wisata yang berkeanggotaan cair, sirkulasi kepemimpinannya seperti formasi burung bangau terbang dan sebagai wahana untuk belajar berorganisasi dan berdemokrasi. Tetapi dengan berstatus sebagai panpel, terutama ketika uang ikut bermain, ketika kedudukan adalah fasilitas, saya tahu bahwa impian awal saya tentang Pasoepati sudah memudar.

Jiwa Pasoepati pun terbelah, karena kini ada perbedaan kasta pada dirinya. Ada Pasoepati yang mendapat bayaran versus Pasoepati yang membayar. Tanpa disadari, sejak itu Pasoepati ibarat melakukan harakiri. Ketidakadilan ini memang tidak keras disuarakan oleh warganya, tetapi mereka mengambil aksi cerdas : hari demi hari semakin susut drastis kehadiran mereka di stadion Manahan.

Mengambil lagi tesis Maslow, karena pengurusnya bekerja untuk uang, berpamrih (to get ), maka kini motif mereka berkiprah dalam Pasoepati menjadi merosot pada piramida Maslow tingkat terbawah. Yaitu pemenuhan kebutuhan fisiologis manusia yang bersifat primitif, meliputi rasa lapar dan haus, kebutuhan yang relatif sederhana, mementingkan diri sendiri, tetapi sekaligus yang paling pokok untuk mendukung kelangsungan hidup itu sendiri.

Dampak yang lain, akibat uang orang berusaha mempertahankan kedudukan. Status quo. Sehingga tidak ada lagi sirkulasi dalam organisasi, tak ada sirkulasi kreasi, yang ada adalah kemandekan.

Itulah gambaran aktual Pasoepati saat ini., ketika masa jabatan Satryo Hadinegoro-Bimo Putranto mendekati akhir. Pasoepati yang dulu dominan memerahkan stadion Manahan, sudah menjadi masa lalu. Kini hanya puak-puak sporadis dan tidak lagi bernyanyi. Panpel pun menuai kerugian.

Ditambah isu mengenai tidak stabilnya kondisi keuangan Persijatim, bahkan tawaran pengambilalihan induk /pemilik tim Persijatim (yaitu klub Bina Taruna) oleh investor Solo juga tidak mendapat respons memadai dari fihak Pemerintah Kota Solo, membuat hengkangnya Persijatim dari Solo tinggal pula menghitung hari.

Ujaran Nelson Mandela bahwa sepakbola sebagai pemersatu, mungkin nanti hanya tinggal kenangan indah bagi publik Solo.

Bambang Haryanto, warga Pasoepati, Sekjen Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI), Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli yang tercatat MURI.

————–

Mayor, Steve Jobs dan Masa Depan Pasoepati

Oleh : Bambang Haryanto

Kalau Anda ingin melatih keterampilan kepemimpinan, jadilah pentolan suporter. Jangan tanggung-tanggung, jadilah presidennya. Anda akan menemui tantangan unik, yang bakal tidak Anda jumpai dalam sesuatu enterprise lainnya.

Dalam kemiliteran, kepemimpinan dibangun berdasarkan rank atau pangkat. Hirarkinya seperti piramida. Semakin tinggi pangkat Anda semakin luas kekuasaan Anda. Di sini loyalitas bersandarkan kepada kepatuhan dan disiplin untuk mengikuti perintah atasan. Hal serupa, walau lebih longgar, terjadi di dunia korporasi atau birokrasi. Interaksi di dunia korporasi dan birokrasi dibangun berdasarkan rasa takut. Takut dipecat, tidak memperoleh gaji dan takut tidak naik pangkat.

Dalam dunia suporter, tidak ada hirarki. Setiap orang merasa punya kedudukan sejajar. Sifat keanggotaannya sukarela dan cair. Kalau lagi tak suka jadi suporter, Anda bisa libur. Sehari, seminggu, sebulan atau pun sepuluh tahun, tak ada sanksi. Tak ada pemecatan. Ikatan antarwarga suporter terbangun karena memiliki tujuan yang sama, mendukung tim kesayangan. Dalam konteks interaksi khas demikian, bagaimana cara terbaik menggulirkan roda organisasi seperti itu ? Kita dapat belajar dari sejarah Pasoepati hingga kini.

Menengok ke belakang, sejarah Pasoepati bermiripan dengan jatuh-bangunnya Apple Computers. Pasoepati lahir dari seorang tokoh periklanan Solo, Mayor Haristanto. Ia mengambil prakarsa ketika tak ada wong Solo mau dan berani menjemput bola untuk membangun organisasi suporter ketika publik bola Solo terserang eforia karena tiba-tiba hadir tim elit Liga Indonesia, Pelita Solo, ke kotanya.

Sementara Apple Computers lahir dari wiraswastawan garasi, Steve Jobs bersama Steven Wozniak. Mayor menjadi hero panggung suporter sepakbola Indonesia, sementara Jobs menjadi hero Lembah Silikon dekade 80-an. Keduanya memimpin “perusahaaan”-nya berbekal kreativitas dan karisma.

Bahkan Mayor dapat dikatakan memerintah lebih dekat ke arah gaya “diktator” Lee Kuan Yew saat mendirikan dan membangun Singapura. Ia menganggap dirinya paling tahu kebutuhan Pasoepati saat itu, tahu masa depannya dan tahu melakukannya. Para pembantunya dalam Pasoepati harus mau mengikuti saja segala langkahnya. Pilihan atas gaya kepemimpinan semacam ini, dalam komunitas yang bersifat cair dan egaliter, mudah memicu iri hati.

Mayor pun juga tak peka untuk beradaptasi. Sebagai wiraswastawan yang dalam istilah Robert T.Kiyosaki berasal dari kuadran “S” (self-employed), pekerja mandiri, dengan kultur kerja one man show, para bawahan adalah juga saingannya, wajar bila ia kemudian dinilai memonopoli kue-kue Pasoepati. Seperti liputan media dan hal-hal yang diduga menguntungkan lainnya.

Perjalanan sejarah mencatat lengser-nya kedua tokoh tersebut. Steve Jobs harus ditendang dari kursi CEO ketika Apple kalah bersaing melawan Bill Gates dan imperium Microsoft-nya. Mayor pun harus menyatakan mundur dari kursi presiden Pasoepati. Ia dan kreasi-kreasinya mungkin dinilai tidak lagi mewadahi aspirasi sebagian pentolan suporter yang justru dulu di saat awal Pasoepati berdiri menjadi pemujanya.

Ternyata di Pasoepati tidak ada suksesi. Para penentang Mayor tidak ada yang berani tampil sebagai pemimpin. Bahkan harus mencari jago di luar Pasoepati, yang mencerminkan situasi darurat. Dapat dimaklumi kemudian bahwa kedaruratan itu melahirkan figur dari antah berantah yang mau duduk di kursi presiden Pasoepati. Pilihan yang mencerminkan keputusasaan.

Apakah diri pengganti Mayor itu cocok berkubang dalam corporate culture semacam Pasoepati ? Atau dirinya tergiur oleh jumlah warga Pasoepati yang dinilainya berpotensi untuk bekal menggulirkan agendanya sendiri ? Warga Pasoepati kini dapat menilai sendiri.

Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari sekelumit perjalanan sejarah Pasoepati ini ? Mayor sebagai pemimpin harusnya mempelajari kata hikmah novelis Perancis, Stendhal (1783-1842), bahwa “penggembala harus selalu membujuk domba-domba gembalaannya bahwa kehendak mereka dan kehendak si penggembala adalah sama”. Problem kepemimpinan Mayor adalah problem komunikasi. Jadi ironis karena itu terjadi pada seseorang yang berkiprah dalam bisnis komunikasi.

Atau memang, sebagai hal wajar, dirinya kesulitan menampung beragam agenda yang dalam waktu singkat dimunculkan warganya yang sangat heterogen itu. Sekadar contoh, kasus tak kunjung usai dalam proses penentuan logo Pasoepati atau pemunculan figur Rojomolo sebagai maskot beberapa waktu lalu, yang mengundang pro-kontra, menggambarkan betapa hampir mustahil menentukan titik temu dari orang-orang yang sama-sama baru saling kenal sementara pengalaman, wawasannya berwacana dalam komunikasi juga amat meragukan. Belum lagi tidak sedikit orang yang ingin tidak sabar memperoleh sesuatu dari adonan sup batu Pasoepati, saat itu !

Pasoepati era pasca-Mayor telah mengalami realitas baru. Mata warga Pasoepati dapat melek, belajar, bahwa semakin banyak anggota dalam suatu organisasi akan terancam tidak menghasilkan sesuatu pun prestasi. Sebab mereka cenderung membangun kompromi, mencari aman, hanya menelorkan gagasan-gagasan klise, dan itulah tanda kemandekan dan kemandulan.

Tidak salah bila wartawan Solopos, Suwarmin, mencatat betapa Pasoepati nampak mapan dalam organisasi tetapi merosot dalam kreasi. Kondisi ini mengingatkan sebuah ejekan bahwa komite merupakan kumpulan salah pilih dari orang-orang yang tidak bersedia oleh orang-orang yang tidak becus untuk mengerjakan sesuatu yang tidak perlu. Sehingga Robert Copeland berpendapat bahwa agar berhasil mengerjakan sesuatu, komite tersebut harus beranggotakan tidak lebih dari tiga orang, di mana dua orang lainnya selalu mangkir.

Sejarah Apple Computers mencatat, Steve Jobs sukses melakukan rebound. Ketika Apple Computers mengalami pembusukan dan hampir bubar, si anak hilang tersebut sukses dalam memimpin Apple Computers bangkit kembali. Mengambil analogi tersebut, apakah Pasoepati juga masih butuh Mayor, sang “diktator” dan pendirinya itu untuk kembali, seperti santer disuarakan akhir-akhir ini ?

We’ve Only Just Begun, begitu judul lagu indah dari Carpenters. Kita baru saja mulai. Pasoepati baru saja berdiri. Masih banyak jalan di depan untuk dipilih dan ditapaki. Pada awal berdirinya, saya ikut bermimpi bahwa Pasoepati sebagai lembaga yang cair, sirkulasi kepemimpinannya seperti formasi burung bangau terbang, wahana untuk belajar berorganisasi dan berdemokrasi.

Hal ideal itu sepertinya akan terjadi ketika di awal berdirinya, tahun 2000, banyak warga nampak berkeinginan tulus memberi untuk Pasoepati. Tur-tur kita yang heboh dan berhasil, adalah kenangan betapa semua diri kita saat itu bersemangat besar untuk memberi kepada Pasoepati.

Tetapi di tahun 2002 saya melihat awal pudarnya semangat itu. Dari mulut seorang pentolan Pasoepati, ia cerita penuh rasa bangga bahwa jerih payahnya babad alas kini telah berbalas. Yang ia maksudkan, saat itu Pasoepati menjadi panpel dan ia telah mendapatkan uang karena menjadi suporter sekaligus menjadi pentolan Pasoepati.

Ketika uang ikut bermain, ketika kedudukan adalah fasilitas, saya tahu bahwa impian awal saya tentang Pasoepati sudah memudar. Karena uang, orang akan berusaha mempertahankan kedudukan. Tak ada lagi sirkulasi dalam organisasi, tak ada sirkulasi kreasi, yang ada adalah status quo, kemandekan.

Kemana kini Pasoepati akan melangkah ? Terserah kepada semua warganya. Sementara itu, bagi saya, adalah suatu kemunduran bagi Mayor dan Pasoepati bila ia nanti kembali memimpin Pasoepati. Demikian pula, ia pun akan terus merugi, bila hanya mampu bernostalgia atas keberhasilannya, sementara dirinya tidak mampu mengambil pelajaran apa pun dari kegagalan yang ia petik selama ini !

Artikel Tentang Avenged Sevenfold

Avenged Sevenfold atau seringkali disingkat sebagai A7X adalah band beraliran rock yang berasal dari Huntington Beach, California. Tahun 2005, Amerika Serikat tengah jenuh dengan musik hip-hop dan pop yang merajalela, lalu Avenged Sevenfold merilis album mereka City of Evil tepatnya pada tanggal 8 Juni, 2005. Hits single Bat Country merupakan lagu metal/rock pertama yang merajai MTV TRL. Mereka mempopulerkan kembali solo gitar dengan duet gitaris Synyster Gates dan Zacky Vengeance yang benar-benar memanaskan area moshpit. Album tersebut mendapat sertifikat gold dan memenangkan predikat Best New Artist in a Video di MTV VMA 2006 untuk lagu Bat Country, dan album yang baru-baru ini dikeluarkan Live in LBC juga mendapat sambutan hangat dari penggemar rock dunia.

Berita Listrik Nasional Sepanjang Tahun 2009 PENANDATANGANAN KREDIT PENDANAAN PEMBANGUNAN PROYEK 5 PLTU EPC 10.000 MW ANTARA PLN DENGAN SINDIKASI BAN


PENANDATANGANAN KREDIT PENDANAAN PEMBANGUNAN PROYEK 5 PLTU EPC 10.000 MW ANTARA PLN DENGAN SINDIKASI BANK Pada hari Jumat tanggal 30 Januari 2009 bertempat di Departemen Keuangan telah dilakukan penandatanganan kredit pendanaan pembangunan proyek 5 PLTU EPC 10.000 MW antara PLN dengan sindikasi Bank BRI, Bank BNI, BPD DKI, BPD Papua, BPD Sulawesi Selatan, BPD Kalimantan Selatan, BPD Sumatera

PENANDATANGANAN KREDIT PENDANAAN PEMBANGUNAN PROYEK 5 PLTU EPC 10.000 MW ANTARA PLN DENGAN SINDIKASI BANK Pada hari Jumat tanggal 30 Januari 2009 bertempat di Departemen Keuangan telah dilakukan penandatanganan kredit pendanaan pembangunan proyek 5 PLTU EPC 10.000 MW antara PLN dengan sindikasi Bank BRI, Bank BNI, BPD DKI, BPD Papua, BPD Sulawesi Selatan, BPD Kalimantan Selatan, BPD Sumatera

Jaringan Internet Melalui Kabel Listrik


Jaringan Internet melalui Kabel Listrik atau Broadband over Power Line (BPL) - Jauh sebelum kabel telepon tetap (fixed line), kabel listrik (power line) telah lebih dulu mengalir ke rumah-rumah dan gedung-gedung perkantoran. Namun, justru kabel telepon tetap yang terlebih dulu digunakan sebagai jalan masuk koneksi internet (last mile) ke perumahan dan perkantoran.Padahal dengan memanfaatkan kabel.

Bunga Dan Tembok

Seumpama bunga
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga
Yang di rontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakikinan engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
dimanapu tirani harus tumbang!

[widji thukul-1988]